SEJARAH SINGKAT KOTA TEBING TINGGI
Kira - kira seratus tiga puluh enam (136) tahun
yang lalu Kota Tebing Tinggi sudah didiami suku bangsa Indonesia. Hal ini dapat
dibuktikan dari arsip lama, dimana dalam catatan tersebut dinyatakan Tebing
Tinggi telah menjadi tempat permukiman, tepatnya pada tahun 1864. Dari cerita -
cerita rakyat yang dikisahkan dari orang - orang tua, dari sebuah Bandar si
Simalungun berangkatlah seorang tua yang bergelar Datuk Bandar Kajum,
meninggalkan kampung halamannya yang diikuti oleh beberapa penggawa dan inang
pengasuhnya melalui Kerajaan Pajang menuju Asahan. Dalam perjalanan ini tibalah
di sebuah desa yang pertama dikunjunginya yang bernama Desa Tanjung Marulak
yang sekarang manjadi Perkebunan PNP 3 Kebun Rambutan.
Setelah beberapa tahun Datuk Bandar Kajum tinggal
di Desa Tanjung Marulak, dikarenakan kelihaian Kolonialis Belanda dengan
politik pecah belahnya maka timbul sengketa dengan Kerajaan Raya, yang
berdekatan dengan Kerajaan Padang yang terletak disebelah selatan, dan sengketa
ini akhirnya meluas menjadi perang saudara. Untuk mempertahankan serangan ini
Datuk Bandar Kajum berhasil mencari tempat di sebuah dataran tinggi di tepi
Sungai Padang, disinilah dia membangun kampung yang dipagari dengan benteng -
benteng pertahanan. Kampung inilah yang disebut sekarang Kampung Tebing Tinggi
Lama.
Kampung tersebut kemudian berkembang menjadi
tempat permukiman sebagai asal usul Kota Tebing Tinggi. Pada tahun 1887 oleh
Pemerintah Hindia Belanda, Tebing Tinggi ditetapkan sebagai Kota Pemerintahan
dimana pada tahun tersebut juga dibangun perkebunan besar yang berlokasi di
sekitar Kota Tebing Tinggi ( hinterland ). Menjelang persiapan Tebing Tinggi
menjadi Kota Otonom, maka dalam melaksanakan roda pemerintahannya pada tahun
1904 didirikan sebuah Badan Pemerintahan yang bernama Plaatselijkke Fonds oleh
Cultuur Soematra Timoer. Dalam Perundang - undangan yang berlaku pada
Desentralisasiewet yang ditetapkan pada tanggal 23 Juli 1903 ( yang untuk
selanjutnya dapat disebut Daerah Otonom Kota Kecil Tebing Tinggi oleh
Pemerintah Hindia Belanda, Pemerintah Kota Tebing Tinggi ditetapkan sebagai
Daerah Otonom dengan sistem Disentralisasi ). Pada tahun 1910 sebelum
dilaksanakannya ZelfBestuur Padang ( Kerajaan Padang ) maka telah dibuat titik
" Pole Growth " yaitu Pusat perkembangan Kota sebagai jarak ukur
antara Kota Tebing Tinggi dengan kota - kota disekitarnya. Patok Pole Growth
tersebut terletak di tengah - tengah Taman Bunga di lokasi Rumah Sakit Umum
Herna Tebing Tinggi. Untuk menunjang jalannya roda pemerintahan maka diadakan
kutipan - kutipan berupa Cukai Pekan, Iuran Penerangan dan lain - lain yang
pada saat itu dapat berjalan dengan baik.
Pada masa Kota Tebing Tinggi menjadi Kota Otonom
maka untuk melaksanakan Pemerintahan selanjutnya dibentuk Badan Gementeraad
Tebing Tinggi, yang beranggotakan 9 orang dengan komposisi 5 orang bangsa
Eropa, 3 orang bumiputra dan 1 orang bangsa timur asing. Hal ini didasarkan
kepada Akte Perjanjian Pemerintah Belanda dengan Sultan Deli, bahwa dalam
lingkungan zelfbestuur didudukan orang asing Eropa yang disamakan ditambah
dengan orang - orang timur asing.
Dengan adanya perbedaan golongan penduduk dalam
penguasaan tanah, juga terdapat perbedaan hak yang mengaturnya. Untuk
melaksanakan pengkutipan yang disebut setoran Retribusi dan Pajak Daerah,
diangkatlah pada waktu itu Penghulu Pekan. Tugas Penghulu Pekan ini juga
termasuk menyampaikan perintah - perintah atau kewajiban - kewajiban kepada
rakyat kota. Selanjutnya Kota Tebing Tinggi sebagai Kota Otonom dapat juga
dibaca dari tulisan J.J Mendelaar dalam " Nota Bertrefende Degemente
Tebing Tinggi " yang dibuat sekitar bulan Juli 1930. Dalam salah satu bab
dalam tulisan tersebut dinyatakan setelah beberapa tahun dalam keadaan vakum mengenai
perluasan pelaksanaan desentralisasi maka pada tanggal 1 Juli 1917 berdasarkan
Desentralisasiewet berdirilah Gemente Tebing Tinggi dengan Sterling Ordanitie
Van Statblaad yang berlaku sejak 1 Juli 1917.
MAKA TANGGAL 1 JULI MERUPAKAN HARI JADI KOTA TEBING TINGGI
Pada masa pendudukan Jepang pelaksanaan
pemerintahan di Tebing Tinggi tidak lagi dilaksanakan oleh Dewan Kota yang
bernama Gementeeraad. Oleh Pemerintah Jepang digantikan dengan nama Dewan
gementee Kota Tebing Tinggi. Menjelang Proklamasi ( masih pada masa pendudukan
Jepang ) pemerintahan di Kota Tebing Tinggi tidak berjalan dengan baik.
Pada tanggal 20 Nopember 1945, Dewan Kota disusun
kembali dalam formasi keanggotaannya sudah mengalami banyak kemajuan, para
anggota Dewan Kota terdiri dari pemuka masyarakat dan anggota Komite Nasional
Daerah. Dewan Kota ini juga tidak berjalan lama karena pada tanggal 13 Desember
1945 terjadi pertempuran dengan militer Jepang dan sampai sekarang terkenal
dengan Peristiwa Berdarah 13 Desember 1945 yang diperingati oleh seluruh
masyarakat Kota Tebing Tinggi setiap tahunnya.
Kemudian pada tanggal 17 Mei 1946 oleh Gubernur
Sumatera Utara diterbitkan suatu Keputusan Nomor 103 tentang Pembentukan Dewan
Kota Tebing Tinggi yang disempurnakan kembali dengan nama Dewan Perwakilan Rakyat,
walaupun pada masa itu Ketua Dewan dirangkap oleh Bupati Deli Serdang. Ketika
masa Agresi Pertama Belanda yang dilancarkan pada tanggal 21 Juli 1947 Dewan
Kota Tebing Tinggi dibekukan, demikian pula pada masa berdirinya Negara
Sumatera Timur, Kota Tebing Tinggi tidak mempunyai Dewan Kota untuk
melaksanakan tugas pemerintahannya. Peraturan Pemerintah Kota pada masa
Republik Indonesia Serikat, Dewan Kota dibentuk berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 39 Tahun 1950 namun dalam proses pelaksanaannya Panitia
Pemilihan belum sempat melaksanakan tugasnya Peraturan Pemerintah tersebut
telah dibatalkan.
Menurut Undang - undang Nomor 1 Tahun 1957
pemerintahan di daerah Kota Tebing Tinggi menganut azas otonomi daerah yang
seluas - luasnya dan dalam Undang - undang tersebut Daerah Kota Tebing Tinggi
berhak mempunyai DPRD yang diambil dari hasil Pemilihan Umum tahun 1955. Dapat
dilihat berdasarkan Undang - undang Daerurat 1956 DPRD Peralihan Kota Tebing
Tinggi hanya mempunyai 10 orang anggota.
Setelah dikeluarkannya Undang - undang Nomor 5
Tahun 1974 tentang Pokok - pokok Pemerintahan Di daerah, pelaksanaan
pemerintahan di Kota Tebing Tinggi sudah jauh lebih maju dibandingkan dengan
pada masa sebelumnya dimana pemerintah daerah telah mempunyai perangkat yang
cukup baik. Sebagai suatu daerah otonom yang berhak mengatur dan mengurus rumah
tangganya sendiri Pemerintah Kota Tebing Tinggi dalam melaksanakan dan
menjalankan roda pemerintahannya ternyata banyak mengalami hambatan oleh karena
keterbatasan yang dialami daerah dalam mendukung pengadaan fasilitas -
fasilitas yang dibutuhkan.
Pada tahun 1980 Presiden Republik Indonesia
menganugerahkan tanda kehormatan " Prasamya Purna Karya Nugraha "
kepada Kotamadya Tingkat II Tebing Tinggi sebagai penghargaan tertinggi atas hasil
kerja yang telah dicapai dalam pelaksanaan Pembangunan Lima Tahun Kedua yang
dinilai telah memberikan kontribusi dalam pembangunan Negara Republik
Indonesia.
Lambang Kota Tebing Tinggi
Bentuk Perisai melambangkan
rakyat dan pemerintah yang mempertahankan negara dan bangsa Indonesia dalam
mencapai cita-cita proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945.
Setangkai Padi (17 butir) melambangkan tanggal Tujuh Belas
sebagai hari proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.
Setangkai Kapas (8
bunga) melambangkan bulan Delapan sebagai bulan kemerdekaan Republik Indonesia.
Rigi-Rigi Tugu Bagian Atas (45
buah) melambangkan tahun Seribu Sembilan Ratus Empat Puluh Lima sebagai tahun
kemerdekaan Republik Indonesia.
Tugu melambangkan kepahlawanan rakyat Tebing
merebut dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.
Pancasila di Atas Tugu melambangkan
Pancasila adalah Dasar Negara Republik Indonesia dan pandangan hidup Bangsa.
Bambu Runcing di Puncak Tugu melambangkan
kepercayaan kepada tenaga sendiri dan kepribadian Indonesia (sesuai dengan
motif yang sebenarnya di pusat kota Tebing Tinggi).
Roda Besi Bergerigi
melambangkan cita-cita warga Kota Tebing Tinggi sebagai kota Industri Rakyat
yang menuju kepada masyarakat Indonesia yang adil makmur rohaniah dan jasmaniah
serta berkesinambungan dunia dan akhirat.
Buku, Tinta, dan Sehelai Bulu Angsa (Kalam) melambangkan
tekad warga kota Tebing Tinggi sebagai kota Pendidikan.
Semboyan "ESA HILANG DUA TERBILANG" berarti
bahwa banyaknya korban yang telah jatuh, dan segala pengorbanan yang telah
diberikan atau Dharma Bhakti lainnya dalam perjuangan untuk mendapat cita-cita
Bangsa dan Negara yang suci dan luhur akhirnya merupakan suatu manifestasi dari
kebulatan tekad dan semangat juang atas kebenaran, keluhuran, dan kesucian
cita-cita serta tujuan perjuangan itu yang patur diperhitungkan, dihargai,
dikenang, dijunjung, dan diteruskan oleh pewaris generasi penerus sepanjang
masa.